Ekspresi Lewat Lensa: Suarakan Emosi dan Tenangkan Kecemasan Lewat Terapi Fotografi

waktu baca 4 menit
Peserta didik ketika mendengarkan penyampaian materi terapi fotografi.

Masa remaja, khususnya di tingkat SMP, merupakan periode perubahan besar yang sering membingungkan bagi remaja itu sendiri dan orang di sekitarnya. Perubahan fisik yang cepat, pencarian identitas, serta tekanan sosial dan akademik sering menjadi sumber kebingungan.

Banyak remaja kesulitan mengekspresikan perasaan mereka karena merasa terjebak atau takut tidak dipahami. Kecenderungan untuk memendam perasaan ini sering terjadi di lingkungan sekolah, di mana siswa merasa cemas atau stres akibat tuntutan akademik, masalah pertemanan, atau keluarga.

Mereka sering kali takut dihakimi dan memilih menghadapinya sendiri, yang dapat menyebabkan kecemasan, overthinking, atau bahkan depresi. Padahal, memberi mereka ruang untuk mengekspresikan emosi dapat membantu mengatasi masalah ini.

Selama magang di suatu SMP, saya mendapati banyak siswa kesulitan untuk mengungkapkan perasaan mereka. Meskipun ada beberapa yang terbuka, mayoritas masih ragu untuk berbicara tentang kecemasan mereka, meskipun sangat membutuhkannya.

Banyak dari mereka juga tidak tahu bagaimana cara menyuarakan perasaan dan merasa terjebak dalam pikiran sendiri. Kondisi ini mendorong saya untuk mencari cara yang lebih kreatif dan aman bagi mereka untuk mengekspresikan diri, yaitu dengan mengusulkan terapi fotografi.

Fotografi, bagi saya, adalah cara yang efektif untuk membantu remaja mengekspresikan perasaan yang sulit mereka ungkapkan. Kamera bukan hanya alat untuk mengambil gambar, tetapi juga bisa menjadi cara untuk berbicara lewat gambar tanpa perlu kata-kata.

Dengan fotografi, siswa bisa melihat dunia dan diri mereka dengan cara yang lebih mendalam, menemukan cara baru untuk menyuarakan emosi yang sulit diungkapkan. Melalui lensa kamera, mereka bisa menangkap gambar yang menggambarkan perasaan mereka, seperti kecemasan, kesedihan, atau kebahagiaan, dan mulai membuka diri tanpa merasa takut dihakimi.

Di dalam sesi terapi fotografi, siswa diajak untuk memilih objek atau pemandangan apapun yang dapat mewakili perasaan mereka. Sebuah foto mungkin tampak sederhana, namun bisa sangat mendalam bagi mereka, karena itu mewakili emosi yang sedang mereka alami.

Proses memilih dan memotret objek ini memungkinkan mereka untuk lebih terhubung dengan perasaan mereka sendiri dan lebih memahami apa yang sedang mereka rasakan, meskipun mereka belum bisa mengungkapkannya secara verbal.

Setelah memotret, siswa diberi kesempatan untuk mendeskripsikan gambar yang mereka ambil. Mereka dapat berbicara tentang alasan mereka memilih objek tersebut dan apa yang dirasakan saat memotret, atau menuliskan perasaan mereka dalam jurnal pribadi.

Ini memberi mereka ruang untuk merenung dan menyuarakan apa yang mereka rasakan. Dengan cara ini, terapi fotografi tidak hanya memberikan cara untuk mengekspresikan emosi, tetapi juga memungkinkan mereka untuk lebih memahami diri mereka sendiri.

Selain itu ketika mengungkapnya secara tidak langsung juga bisa melatih public speaking dan juga kepercayaan diri. Dan yang terpenting mereka akhirnya mulai bisa untuk mengungkapkan bentuk emosi mereka.

Salah satu alasan mengapa terapi fotografi sangat efektif adalah karena fotografi dapat mengalihkan perhatian siswa dari pikiran-pikiran yang cemas dan membingungkan. Ketika mereka fokus pada objek yang ingin mereka potret, mereka mulai memperhatikan hal-hal kecil di sekitar mereka yang mungkin sebelumnya terabaikan.

Proses ini memberikan mereka kesempatan untuk melupakan sejenak kecemasan mereka dan lebih fokus dalam momen tersebut. Ketika mereka merasa cemas, pikiran sering kali terasa rumit, dan terapi fotografi memberi mereka kesempatan untuk mengalihkan fokus tersebut ke hal-hal positif di sekitar mereka. Ini membantu mereka merasa lebih tenang dan mengurangi kecemasan yang mereka rasakan.

Selain itu, melalui terapi fotografi, siswa juga belajar untuk lebih menghargai diri mereka sendiri. Ketika mereka melihat hasil foto yang mereka ambil, mereka merasa bangga karena telah berhasil mengekspresikan perasaan mereka dengan cara yang unik dan personal.

Ini meningkatkan rasa percaya diri mereka, karena mereka merasa bahwa perasaan mereka dihargai dan layak untuk dilihat oleh orang lain. Ketika mereka berbagi foto dengan teman atau guru, mereka mulai merasa lebih terhubung dengan orang lain dan mengurangi rasa kesepian yang sering mereka alami. Ini menciptakan kesempatan untuk komunikasi yang lebih terbuka, dan bisa membantu mereka mengatasi kecemasan dan stres yang mereka rasakan.

Terapi fotografi juga mengajarkan siswa untuk lebih terbuka dalam berbicara tentang perasaan mereka. Setelah melalui proses ini, banyak siswa yang merasa lebih mudah untuk berbicara tentang masalah pribadi mereka, baik dengan teman, guru, atau orang tua.

Mereka merasa lebih siap untuk mengungkapkan perasaan mereka karena mereka telah melalui pengalaman yang memberi mereka ruang aman untuk berekspresi. Terapi fotografi tidak hanya berfungsi untuk membantu mereka mengekspresikan perasaan, tetapi juga memberi mereka cara baru untuk melihat dunia dan diri mereka masing-masing.

Melalui pengalaman ini, saya menyadari bahwa banyak remaja yang sebenarnya membutuhkan ruang untuk mengekspresikan emosi mereka, namun sering kali tidak tahu bagaimana cara melakukannya. Terapi fotografi memberi mereka kesempatan untuk berbicara tanpa kata-kata, dan memberikan mereka alat untuk mengatasi kecemasan dan stres.

Ini membuka pintu bagi mereka untuk menemukan cara yang lebih sehat dalam mengelola perasaan mereka, sekaligus membantu mereka merasa lebih terhubung dengan diri mereka sendiri dan orang lain. Dengan demikian, fotografi tidak hanya menjadi sarana untuk menyuarakan emosi, tetapi juga alat yang membantu mereka menemukan kedamaian dan ketenangan dalam diri mereka.

Penulis

  • Tamara Atsil Soraya
  • Psikologi Universitas Muria Kudus

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *