Halaman Kosong, Cerpen Pena Muda Ramli Lahaping

waktu baca 6 menit
Ramli Lahaping, penulis cerpen "Halaman Kosong' Kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Menulis di blog pribadi (sarubanglahaping.blogspot.com). Bisa dihubungi melalui Instagram (@ramlilahaping) atau Facebook (Ramli Lahaping).
Halaman Kosong
Karya Ramli Lahaping

Cerita tentang kita, mungkin memang sudah berakhir. Upayaku telah berlangsung seminggu, tetapi bagian cerita yang terakhir, belum juga sampai pada penutup.

Mataku makin lelah menatap layar kosong, tetapi jariku tak kunjung mengetikkan dan merampungkan kata-kata. Hingga akhirnya, aku menyerah dan kembali bersabar menunggu ilham cerita yang entah sampai kapan.

Aku memang seolah kehilangan bahan penceritaan. Sebuah perkara yang terjadi karena kesalahanku juga. Bagaimanapun, aku telah salah memaksakan khayalanku menjadi kenyataan. Melanggar batas-batas kepatutan demi memilikimu. Sampai akhirnya, aku tidak hanya kehilangan dirimu, tetapi juga kehilangan asupan untuk fantasi imajinasiku.

Semua berawal ketika kepahitan hidup menghanyutkanku ke dalam dunia khayalan. Seorang lelaki yang telah menjanjikan kesetiaan kepadaku, tega mengkhanatiku. Dengan mudahnya, ia berpaling kepada wanita lain. Lalu tanpa rasa bersalah, ia menikahi wanita itu, seolah-olah kisah kami sebagai sepasang kekasih, telah sirna dari dalam kepalanya.

Kesalku, semua perkara tersebut terjadi karenanya, dan aku hanya teperdaya. Pada awal perkenalan, aku sama sekali tak punya ketertarikan kepadanya. Tetapi dengan rayuan, ia terus berupaya menaklukkan perasaanku. Perlahan-lahan, aku pun belajar membuka hati dan mulai menerimanya. Namun setelah cintaku bertumbuh, ia malah balik menghancurkannya.

“Apa maksudmu? Bukankah kau telah berjanji bahwa kau akan hidup bersamaku selamanya,” tuturku, sembari terisak, ketika ia menyampaikan perihal tanggal pernikahannya kepadaku.

“Seharusnya kau mengerti bahwa aku telah banyak berkorban untuk kebersamaan kita. Aku telah memasrahkan cinta dan harapanku kepadamu. Seharusnya kau pun begitu!”

Tetapi tanpa berkata-kata lagi, ia malah memutuskan sambungan telepon.

Sebab kisah kami itu, aku pun menyadari kalau memang ada laki-laki yang tercipta sebagai penjahat cinta. Mereka sengaja menaklukkan hati seorang perempuan, hanya untuk melukainya. Demikianlah arti kehadirannya terhadapku.

Akibatnya, lama setelah itu, aku larut dalam kepedihan. Perasaanku hancur, sampai aku kehilangan keyakinan kalau masih akan menemukan sosok lelaki yang setia. Lantas, takdir menuntunku menemukan tulisan-tulisanmu di sebuah platform penulisan. Serangkain cerita berseri yang mengisahkan tokoh lelaki yang setia, seperti yang kuidam-idamkan.

Waktu demi waktu, aku pun makin candu pada ceritamu. Aku makin tergila-gila kepada tokoh lelaki yang tulus mencintai seorang perempuan yang bercela. Lelaki tampan yang teguh menyayangi perempuan tunanetra. Pada cerita itulah, aku kembali mendapatkan keyakinan kalau aku pasti akan menemukan sosok lelaki yang setia dan ikhlas mencintaiku.

Cerita yang engkau tulis, benar-benar menjadi alam pelarian yang indah bagiku. Karena cerita itu, aku kembali mendapatkan semangat hidup untuk menemukan cinta yang sejati. Meskipun ide ceritanya terkesan klise, tetapi kau mampu merangkainya dengan kata-kata dan alur yang apik, sehingga aku terbuai kala membacanya dan jadi penasaran akan akhir ceritanya.

Tetapi kekagumanku pada buah imajinasimu, lantas membuat angan-anganku meliar. Aku jadi membayang-bayangkan kalau kau adalah tokoh utama lelaki dalam ceritamu itu, dan aku sebagai tokoh perempuannya. Aku pun jadi sangat memujamu dan berhasrat untuk hidup bersamamu. Aku ingin memilikimu beserta cerita-cerita indahmu.

Demi impian itu, aku lalu melakukan langkah pendekatan. Aku mengikuti kelas penulisan daring bimbinganmu, dan berusaha tampil sebagai peserta yang menonjol. Seusai interaksi maya itu, aku lantas berupaya mengkarabimu dengan memohon bimbingan privatmu melalui pesan singkat. Lambat laun, kita jadi makin dekat. Sesekali, kita berdua pun bertemu secara langsung.

Setelah sekian lama, aku akhirnya bisa membaca gelagat ketertarikanmu kepadaku. Kau mulai suka mempertanyakan hal-hal personal di luar soal-soal penulisan. Kau bahkan mulai terbiasa memerhatikan keadaanku dan menanyakan kabarku. Sampai akhirnya, kau memintaku untuk menjadi kekasihmu, dan aku menerimanya dengan girang hati.

Selama kebersamaan kita, aku pun merasakan kehidupan yang menyenangkan, sebab aku merasa masuk ke dalam rangkaian cerita yang engkau tuliskan. Aku merasa cerita itu hidup dalam kenyataan sebagai aku dan kau. Bahkan tanpa perlu engkau katakan, aku bisa menemukan tanda kalau kau menjelmakan kedua tokoh utama di dalam ceritamu itu sebagai kita.

Tetapi menjadi pembaca karyamu dengan kekaguman yang besar, akhirnya membuat daya tulisku makin menurun. Aku jadi kehilangan semangat untuk menuliskan ceritaku sendiri. Pasalnya, aku merasa kalau cerita yang engkau tuliskan adalah ceritaku juga. Apalagi, kau memang sering kali meminta pendapatku perihal kelanjutan rangkaian ceritamu itu.

Namun dalam waktu kebersamaan kita yang masih singkat, aku mulai mendapatkan usikan. Aku mendengar kabar kalau kau telah memiliki seorang istri. Bahkan kabarnya, kau telah memiliki seorang anak perempuan. Tetapi aku tak mau percaya itu, dan aku tak mau mencari tahu. Aku kukuh pada rasa percayaku bahwa kau hanya bersetia denganku, sebagaimana tokoh dalam ceritamu, seperti juga yang selama ini engkau katakan.

Tetapi pada akhirnya, kebenaran terpampang di depan mataku dan tak bisa kuelakkan lagi. Pada satu malam, saat kita tengah duduk berdua di sebuah kafe, istrimu, putri kecilmu, dan seorang iparmu datang melabrak perselingkuhan kita. Maka setelah mendapatkan sumpah serapah dari mereka, aku pun pasrah menerima kenyataan bahwa kita menang tidak seharusnya bersama.

Tiga hari setelah hubungan terlarang kita terkuak, kau pun mengirimkan pesan singkat kepadaku: Maafkan aku atas kebohonganku. Kau sudah tahu kenyataan tentang diriku, dan aku harap kau bisa mengerti bahwa aku tak mungkin mengorbankan rumah tanggaku untuk kita. Aku mencintaimu, tetapi aku harap kau bisa menerima bahwa kita tidak akan bisa hidup bersama.

Aku memilih tidak membalas pesanmu dan mengakhiri perkara tentang kita.

Tetapi aneh. Entah kenapa, aku tidak merasakan pedih yang mendalam dan berkepanjangan atas perpisahan kita. Mungkin karena aku menyadari kalau segenap perkara kita, terjadi atas kehendak dan rencanaku sendiri. Akulah yang menginginkanmu. Akulah yang mendekatimu dan berusaha mendapatkan hatimu. Akulah yang membuatmu mencintaiku. Karena itu, aku sadar diri untuk menanggung akibat dari cinta butaku sendiri.

Terlebih, hubungan singkat kita juga telah meninggalkan kenangan yang manis untukku. Paling tidak, aku telah menjadi bagian nyata dari cerita yang engkau rangkai. Aku akan mengeja-ejanya dengan rasa bahagia. Dan aku harap, rangkaian ceritamu itu akan tamat sebagai kisah romantis yang mengesankan, tentang kita, meskipun kita tidak saling memiliki di dalam kehidupan nyata.

Tetapi akhirnya, aku merasa kalau anggapanku salah. Perpisahan kita ternyata membuatku kehilangan sepenuhnya tentang engkau sepanjang masa mendatang. Aku tidak hanya kehilangan dirimu, tetapi juga kehilangan ceritamu yang merupakan asupan untuk fantasi imajinasiku sendiri, sebab perkara yang timbul atas hubungan singkat kita, telah membuat rangkaian ceritamu berakhir sebelum selesai.

Paling tidak, sampai saat ini, kau belum juga menuliskan kelanjutan cerita dari kekalutan hidup para tokohmu itu menuju kehidupan bahagia mereka.

Kini, dengan perasaan hampa, aku kembali menatap layar laptopku dan menampilkan bagian cerita terakhir yang engkau tuliskan. Aku pun kembali berharap-harap keajaiban terjadi dan kau seketika mengunggah penggalan cerita yang baru, yang menyuratkan perihal kelanjutan kisah kita menuju bahagia di dalam dunia khayal.

Setelah sekian lama menunggu, aku pun pasrah menerima kalau kekisruhan rumah tanggamu akibat cinta butaku, telah membuatmu kehilangan daya untuk menuliskan kelanjutan cerita itu. Akibatnya, aku harus menanggung kesepian tanpa pelarian lagi.

Perlahan-lahan, keinsafanku pun timbul. Aku merasa menyesal telah membunuh imajinasimu dan memorakporandakan dunia khayal yang kucitrakan darinya. Aku pun merenung-renungkan, seandainya saja aku tak memperturut nafsu untuk memilikimu, kau pasti masih akan melanjutkan ceritamu yang mengesankanku. Tetapi semua sudah terlanjur terjadi, dan kenyataan membuatku harus menerima bahwa aku telah kehilangan dirimu dan sesuatu yang membuatku jatuh hati kepadamu; bahwa aku telah membunuh daya penulis idolaku sendiri demi hasrat pribadiku.

Di tengah kegalauanku yang kacau, aku pun berupaya mencari-cari jalan pelarian yang barangkali bisa meloloskanku dari derita kekosongan. Aku ingin melepaskan diriku dan khayalanku dari ketergantungan perihal dirimu. Dan setelah lama-lama berpikir, dengan kenekatan yang canggung, aku pun membuka lagi lembaran baru di halaman laptopku dan mencoba menuliskan sendiri cerita perihal kenyataan dan khayalanku sendiri, tentang kita.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *